Sejarah Bhinneka Tunggal Ika Menjadi Semboyan Nasional

Sejarah Bhinneka Tunggal Ika

Sejarah Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar catatan tentang asal-usul frasa yang terpampang di lambang negara kita, taoi sebuah perjalanan panjang sebuah filosofi yang bertahan ratusan tahun, menyatukan Nusantara yang beraneka ragam dalam satu ikatan nasional. Pemahaman mendalam tentang asal-usul Bhinneka Tunggal Ika dan perkembangannya menjadi semboyan nasional Indonesia memberikan kita perspektif yang lebih kaya tentang identitas dan karakter bangsa.

Akar Filosofis: Makna dan Asal Usul Bhinneka Tunggal Ika

Secara etimologis, Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa Jawa Kuno. “Bhinneka” berarti beraneka atau berbeda-beda, “Tunggal” berarti satu, dan “Ika” berarti itu. Secara harfiah, frasa ini diterjemahkan menjadi “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Konsep ini jauh lebih dalam dari sekadar kata-kata; ia adalah prinsip hidup yang menekankan kesatuan dalam keberagaman (unity in diversity).

Filosofi ini pertama kali muncul dalam karya sastra agung Nusantara, Kakawin Sutasoma, yang digubah oleh Mpu Tantular sekitar abad ke-14 pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Kutipan lengkapnya terdapat pada pupuh 139 bait 5:

“Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”

Artinya: “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kebenaran yang mendua.”

Pada konteks awal ini, sejarah Bhinneka Tunggal Ika mencatat fungsinya sebagai landasan toleransi beragama antara penganut Hindu-Siwa dan Buddha di Majapahit. Mpu Tantular, dengan geniusnya, merumuskan sebuah konsep yang mampu menjembatani perbedaan keyakinan tanpa meniadakan identitas masing-masing.

Jejak Sejarah Bhinneka Tunggal Ika Menjadi Semboyan Nasional

Setelah masa Majapahit, nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika seperti tenggelam, namun tidak pernah benar-benar hilang dari kesadaran kolektif Nusantara. Latar belakang Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu kembali mencuat ke permukaan pada masa pergerakan nasional. Para pendiri bangsa, yang banyak di antaranya adalah intelektual yang mendalami sejarah dan budaya Nusantara, mencari sebuah konsep yang mampu menjadi perekat persatuan Indonesia.

Proses perumusan semboyan negara Indonesia ini menarik. Menurut berbagai catatan sejarah, termasuk kesaksian Mohammad Hatta dalam bukunya “Bung Hatta Menjawab”, frasa ini diusulkan oleh Ir. Soekarno. Saat perancangan lambang negara, awalnya Burung Garuda dicangkan mencengkeram pita merah putih. Soekarno kemudian mengusulkan untuk menggantinya dengan pita bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”. Usul ini diterima karena dirasa lebih mencerminkan jiwa bangsa Indonesia yang majemuk.

Akhirnya, melalui Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 1951, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan secara resmi sebagai semboyan bangsa Indonesia dan ditempatkan pada pita yang dicengkeram cakar Burung Garuda Pancasila. Ini adalah puncak dari perjalanan panjang sejarah Bhinneka Tunggal Ika, dari sebuah ajaran toleransi di kitab kuno menjadi dasar filosofis negara modern.

Makna dan Prinsip Dasar di Balik Semboyan Pemersatu Bangsa

Memahami sejarah Bhinneka Tunggal Ika tidak lengkap tanpa mengurai makna dan prinsip Bhineka Tungga Ika yang dikandungnya. Prinsip ini bukan tentang penyeragaman, melainkan tentang persatuan dalam keragaman. Beberapa prinsip kunci yang dapat kita ambil adalah, pertama, Prinsip Common Denominator atau Mencari Titik Temu. Prinsip ini mengajak kita untuk senantiasa menemukan persamaan di tengah perbedaan yang ada, baik dalam hal agama, suku, maupun budaya.

Kedua, Prinsip Non-Sektarian dan Inklusif. Prinsip ini menolak pandangan yang menganggap kelompok sendiri paling benar dan secara aktif membuka ruang bagi keberadaan serta partisipasi kelompok lain. Ketiga, Prinsip Konvergen. Prinsip ini mengarahkan berbagai perbedaan untuk bertemu pada tujuan bersama, yaitu kemajuan bangsa, alih-alih berpecah belah. Keempat, Prinsip Gotong Royong. Prinsip ini menekankan pentingnya menjalankan semangat kerja sama dan saling membantu sebagai inti dari kehidupan berbangsa dan bernegara.

Arti penting Bhinneka Tunggal Ika bagi bangsa Indonesia sangat mendasar dan multi-dimensional. Ia berfungsi sebagai pondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menjadi pilar kebangsaan yang tak terpisahkan bersama Pancasila dan UUD 1945, serta berperan sebagai benteng ketahanan nasional di tengah gempuran arus globalisasi dan dinamika sosial yang terus berubah. Dengan merangkul prinsip-prinsip ini, Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya menjadi semboyan, tetapi menjadi kerangka operasional untuk membangun keharmonisan dan kemajuan bersama.

Menerapkan Nilai-Nilai Luhur dalam Kehidupan Modern

Dalam konteks kekinian, nilai-nilai kesatuan dalam keberagaman yang diajarkan oleh Bhinneka Tunggal Ika justru semakin relevan. Di era digital di mana informasi—dan disinformasi—bertebaran dengan cepat, semangat untuk menghargai perbedaan dan menjaga kerukunan berfungsi sebagai vaksin sosial yang paling dibutuhkan untuk membangun ketahanan masyarakat.

Penerapan nilai luhur ini dapat dimulai dari langkah-langkah sederhana yang konkret. Di lingkungan keluarga dan masyarakat, penerapan itu dapat diwujudkan dengan secara konsisten menghormati tetangga yang berbeda keyakinan, menghindari pemaksaan pendapat pribadi, serta aktif berpartisipasi dalam kegiatan sosial yang bersifat inklusif dan merangkul semua pihak.

Di dunia digital, kita dapat mengamalkan Bhinneka Tunggal Ika dengan bijak menyebarkan konten yang mempromosikan toleransi dan pemahaman, secara tegas menolak menyebarkan ujaran kebencian atau hate speech berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan), serta membiasakan diri untuk melakukan verifikasi atau cek fakta sebelum membagikan suatu informasi, sehingga turut menciptakan ekosistem digital yang sehat.

Sementara itu, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, semangat ini diterjemahkan dengan mendukung kebijakan publik yang inklusif dan berkeadilan, menghormati proses hukum dan demokrasi sebagai jalan penyelesaian, serta memandang perbedaan politik bukan sebagai alasan untuk permusuhan, melainkan sebagai dinamika yang wajar dalam sebuah negara demokratis. Dengan tindakan sehari-hari ini, filosofi agung tersebut hidup bukan hanya dalam simbol, tetapi dalam praktik nyata yang memperkuat kohesi nasional.

Bhinneka Tunggal Ika sebagai Kompas Generasi Mendatang

Sejarah Bhinneka Tunggal Ika mengajarkan bahwa persatuan bukanlah sesuatu yang given, tetapi sebuah pencapaian yang harus terus dirawat. Tantangan terhadap keutuhan bangsa dan kerukunan hidup bermasyarakat akan selalu ada. Di sinilah kita perlu menjadikan filosofi ini sebagai kompas.

Dengan mempelajari latar belakang Bhinneka Tunggal Ika, kita bukan hanya menghormati para pendiri bangsa yang dengan bijak memilih warisan leluhur sebagai semboyan negara, tetapi juga berkomitmen untuk melanjutkan estafet perjuangan mereka: merawat Indonesia yang beragam ini agar tetap harmonis, kuat, dan bermartabat.

Bagikan artikel ini kepada keluarga dan temanmu untuk bersama-sama menguatkan semangat persatuan kita.

Baca juga:

Pertanyaan Umum Seputar Sejarah Bhinneka Tunggal Ika (FAQ)

1. Dari mana asal usul frasa Bhinneka Tunggal Ika?

Frasa ini pertama kali muncul dalam Kitab Sutasoma atau Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad ke-14 di masa Kerajaan Majapahit. Awalnya, frasa ini menggambarkan toleransi dan kesatuan antara agama Hindu dan Buddha.

2. Siapa yang pertama kali mengusulkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara?

Berdasarkan catatan sejarah, Ir. Soekarno yang mengusulkan frasa ini untuk dimasukkan ke dalam lambang negara. Usulan ini kemudian diterima dan secara resmi ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 1951.

3. Apa saja prinsip-prinsip utama dalam Bhinneka Tunggal Ika?

Prinsip utamanya meliputi: mencari titik temu (common denominator), bersikap inklusif dan tidak sektarian, bersifat konvergen (mengarah pada kesatuan), menghargai pluralitas, dan mengedepankan semangat gotong royong.

4. Apakah makna Bhinneka Tunggal Ika hanya seputar perbedaan suku dan agama?

Tidak. Maknanya lebih luas. Selain perbedaan suku bangsa, agama, ras, dan antargolongan (SARA), filosofi ini juga mencakup perbedaan pendapat, pemikiran, budaya daerah, dan cara hidup, yang semuanya dipersatukan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5. Mengapa memahami sejarah Bhinneka Tunggal Ika penting bagi generasi muda?

Pemahaman akan sejarahnya memberikan landasan identitas yang kuat, meningkatkan rasa nasionalisme, dan membekali generasi muda dengan filosofi untuk merespon tantangan modern seperti radikalisme, hoaks bermuatan SARA, dan disintegrasi sosial dengan bijak, berdasarkan nilai-nilai luhur bangsa sendiri.

Referensi

  1. Riyadi, I., Prabowo, E. A., & Hakim, D. (2024). Peran Bhinneka Tunggal Ika Dalam Keberagaman Adat Budaya di Indonesia. Jaksa: Jurnal Kajian Ilmu Hukum Dan Politik2(3), 34-49.
  2. Aituru, Y. P., & Andrias, M. Y. (2023). Keberagaman Dalam Kesatuan: Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Pilar Pembentukan Hukum Nasional Di Republik Indonesia. UNES Law Review5(4), 4797-4805.
  3. Riyanto, S., Febrian, F., & Zanibar, Z. (2023). Bhinneka Tunggal Ika: Nilai Dan Formulasinya Dalam Peraturan Perundang-Undangan. Legislasi Indonesia20(2).
Scroll to Top