Makna Pancasila sebagai kepribadian bangsa bukan sekadar konsep teoritis dalam buku pelajaran Kewarganegaraan. Pancasila adalah denyut nadi, karakter kolektif, dan DNA kebudayaan yang membentuk sikap, perilaku, dan cara berpikir masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah arus globalisasi dan transformasi sosial yang begitu cepat, memahami Pancasila sebagai jati diri dan identitas nasional menjadi semakin krusial.
Mengapa Pancasila Disebut Sebagai Kepribadian Bangsa?
Kepribadian bangsa merujuk pada ciri khas, watak, dan pola perilaku suatu bangsa yang konsisten dan membedakannya dari bangsa lain. Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia berarti kelima sila tersebut merupakan kristalisasi dari nilai-nilai luhur, norma, dan pandangan hidup yang telah mengakar ratusan tahun dalam sanubari masyarakat Nusantara. Ia lahir bukan dari impor ideologi asing, melainkan dari proses dialektika panjang para pendiri bangsa yang menggali kearifan lokal seperti gotong royong, toleransi, musyawarah, dan keadilan.
Dalam konteks ini, Pancasila berfungsi sebagai pandangan hidup (way of life) yang memandu setiap langkah individu dan kolektif. Pancasila adalah ideologi pemersatu bangsa yang mampu merajut keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam satu ikatan Bhinneka Tunggal Ika. Sebagai sumber dari segala sumber hukum, nilai-nilainya menjiwai seluruh peraturan perundang-undangan, menjadikannya landasan moralitas bangsa dalam bernegara.
Dimensi dan Implementasi Konkret Kepribadian Pancasila
Memahami makna Pancasila sebagai kepribadian bangsa harus ditindaklanjuti dengan penerapan nyata. Berikut adalah dimensi dan implementasinya:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat religius yang tidak sekuler. Implementasinya bukan hanya pada kebebasan beribadah, tetapi pada etika dan moral dalam kehidupan publik. Sikap saling menghormati perbedaan keyakinan, tidak memaksakan agama, dan bekerja sama dalam kebaikan adalah cerminan konkret. Tantangan modern seperti radikalisme dan intoleransi bertentangan langsung dengan karakter bangsa Indonesia yang inklusif ini.
2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Kepribadian ini menolak segala bentuk penindasan, diskriminasi, dan kekerasan. Mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal seperti empati, tenggang rasa, dan penghormatan terhadap HAM. Dalam praktik, ini berarti membela keadilan, menolong sesama tanpa pandang bulu (seperti semangat gotong royong digital dalam penggalangan dana online), serta menghargai martabat setiap orang.
3. Sila Persatuan Indonesia
Kepribadian bangsa Indonesia mampu menjaga kesatuan di atas keragaman. Sikap mengutamakan kepentingan bangsa, mencintai produk dalam negeri, melestarikan budaya daerah sebagai kekayaan nasional, serta menolak separatisme dan politik identitas yang sempit adalah wujud nyatanya. Pancasila sebagai pemersatu bangsa adalah tameng terbaik dari ancaman disintegrasi.
4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Demokrasi ala Indonesia bukan demokrasi liberal yang kebablasan, tetapi demokrasi yang dijiwai oleh musyawarah untuk mufakat. Kepribadian ini mengutamakan dialog, deliberasi, dan pencarian konsensus daripada konflik dan penghakiman. Dalam kehidupan sehari-hari, ini tercermin dari sikap menghargai pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak, serta menerima hasil keputusan bersama dengan lapang dada.
5. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Kepribadian ini menolak kesenjangan yang tajam, mengedepankan semangat kegotongroyongan dan keadilan sosial. Pemerataan pembangunan, pemberantasan korupsi, perlindungan terhadap kaum lemah, dan sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat banyak adalah implementasi ideologisnya. Sikap anti-korupsi, kesediaan membayar pajak, dan kepedulian terhadap lingkungan juga bagian dari perwujudannya.
Tantangan dan Relevansi Pancasila di Era Digital
Di era disruptif seperti sekarang, makna Pancasila sebagai kepribadian bangsa justru semakin relevan. Tantangan seperti hoaks, ujaran kebencian, polarisasi politik, dan individualisme ekstrem di media sosial bertentangan dengan semua sila Pancasila. Pancasila justru bisa menjadi filter budaya dan landasan etika bermedia digital. Ia mengajarkan untuk menyebarkan informasi yang benar (Sila 2), menjaga persatuan di ruang daring (Sila 3), berdiskusi dengan bijak (Sila 4), dan memastikan akses teknologi yang adil (Sila 5).
Peran Kita Semua: Menghidupkan Pancasila dalam Aksi
Pancasila tidak akan berarti tanpa pengamalan. Setiap elemen bangsa memiliki peran kunci dalam menghidupkannya. Generasi muda perlu menjadi agen kreatif yang menyebarkan nilai-nilai Pancasila melalui konten digital, komunitas positif, dan inovasi sosial yang mengatasi tantangan zaman. Para pendidik dan orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam proses pembelajaran dan pengasuhan sehari-hari, jauh melampaui hafalan teks menuju pembentukan karakter. Sementara itu, para pemimpin dan birokrat dituntut untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, adil, dan melayani sebagai teladan konkret pengamalan Pancasila. Pada akhirnya, masyarakat umum dapat menghidupkan Pancasila dari tindakan sederhana: bertetangga dengan rukun, antre dengan disiplin, serta menjunjung tinggi kejujuran dalam setiap transaksi dan interaksi sosial.
Pancasila adalah jiwa yang memberi napas pada raga Indonesia. Mari kita jaga napas itu tetap kuat, murni, dan menghidupi setiap sendi kehidupan berbangsa kita.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Apa bedanya Pancasila sebagai dasar negara dan sebagai kepribadian bangsa?
Sebagai dasar negara, Pancasila berfungsi sebagai fondasi hukum dan ideologis penyelenggaraan negara. Sebagai kepribadian bangsa, Pancasila adalah karakter, identitas, dan pola perilaku khas masyarakat Indonesia yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
2. Bagaimana cara mengamalkan Pancasila sebagai kepribadian bangsa di lingkungan kerja?
Dengan menciptakan lingkungan kerja yang inklusif (Sila 1), menghormati rekan kerja (Sila 2), mengutamakan tim dan perusahaan (Sila 3), menyelesaikan masalah dengan diskusi bijak (Sila 4), dan mendukung sistem reward yang adil (Sila 5).
3. Apakah Pancasila sebagai kepribadian bangsa masih relevan untuk generasi Z dan Alpha?
Sangat relevan. Nilai-nilai inti seperti toleransi, kolaborasi (gotong royong), keadilan, dan musyawarah justru selaras dengan semangat generasi global. Tantangannya adalah mengemas nilai tersebut dalam bahasa dan medium yang sesuai dengan mereka, seperti platform digital dan isu-isu kontemporer (sustainability, mental health, equity).
4. Apa contoh sederhana pengamalan Pancasila sebagai kepribadian bangsa di media sosial?
Berpikir sebelum berkomentar (Sila 2), tidak menyebar konten SARA (Sila 3), menyanggah hoaks dengan data dan bahasa yang santun (Sila 4), serta mendukung UMKM lokal (Sila 5).
5. Bagaimana jika ada perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan kepribadian Pancasila?
Itu menandakan adanya degradasi pemahaman dan internalisasi. Solusinya adalah dengan pendidikan karakter berbasis Pancasila yang konsisten sejak dini, keteladanan dari elite, dan penegakan hukum yang adil untuk perilaku yang melanggar (seperti korupsi, hate speech). Pancasila harus hidup dalam tindakan, bukan hanya slogan.
Referensi
- Adha, M. M., & Susanto, E. (2020). Kekuatan nilai-nilai Pancasila dalam membangun kepribadian masyarakat Indonesia. Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan, 15(01), 121-138.
- Semadi, Y. P. (2019). Filsafat Pancasila dalam pendidikan di Indonesia menuju bangsa berkarakter. Jurnal Filsafat Indonesia, 2(2), 82-89.
- Naldo, R. A. C., & Purba, M. (2018). Pemikiran Filsafat Hukum ke Arah Kepribadian Bangsa. Jurnal Ilmiah Advokasi, 6(1), 42-55.




